Sejarah Seni Lukis Modern Indonesia

01.44 Edit This 0 Comments »
Zaman Seni Rupa Modern di Indonesia

Seni rupa modern di Indonesia dirintis sejak abad ke 18 Masehi atau pada masa Kolonialisme
Belanda. Ada perubahan yang cukup mendasar pada fungsi kesenian di zaman modern daripada
masa sebelumnya. pada masa traditional, pencipta karya seni selalu dihubungkan dengan fungsi
sakral, seperti pembuatan patung nenek moyang, pendirian candi, masjid, dan lain - lain
yang semuanya ditunjukkan untuk mendorong semangat beribadah.
Adapun di zaman modern, nilai - nilai kreativitas dan estetika menjadi dasar penciptaan.
Dorongan akan kebebasan berekspresi dan pengaruh individualisme Barat pun muncul.
Karya - karya seni rupa banyak beralih fungsinya yang awal dikontribusikan untuk kepentingan
ibadah atau sakral, kepentingan tradisi atau untuk memenuhi fungsi sosial lainnya, berubah
menjadi seni yang berfungsi individual yaitu sebagai media ekspresi murni estetis bagi para
senimannya.
Karya seni rupa yang banyak dibicarakan di zaman modern adalah karya seni lukis. Berbeda
dengan seni lukis traditional, seni lukis modern bersifat tarditional. Pengertiannya adalah
bahwa seni lukis modern telah melepaskan diri dari tata cara yang sudah ada dan lebih
bersifat membentuk kepercayaan dan kepribadian seseorang
Perintis pertama seni lukis modern dilakukan oleh Raden Saleh Syarif Bustaman sepulang dari
studinya di Eropa meskipun sebenarnya terjadi secara tidak disengaja.
Hampir setengah abad kemudian muncullah bentuk seni lukis Indonesia yang dikenal dengan
nama Indonesia Jelita atau Mooi Indie atau disebut juga Hindia Molek.
Nama Mooi Indie pada dasarnya untuk menamai tipe karya dan pengarahan tema seni lukis Hindia
Belanda pada tahun 1925 - 1938. Bisa dikatakan pelukis - pelukis Mooi Indie adalah Abdullah
Suryo Subroto ( 1878 - 1941 ) yang merupakan putra Dr Wahidin Sudirohusodo, Wakidi,
M. Pirngadi, Sujono Abdullah, Basuki Abdullah, Trijoto Abdullah, dan pelukis - pelukis
keturunan Cina seperti Lee Man Fong dan Oui Tiang Boen. Juga ada sebagian dari kalangan
pelukis barat seperti Lee Mayeur, Walter Spies, Rudolf Bonet, Van Mooyen, Max Fleischer,
Duchatel, Carel Dake, Isaac Israel, J.Frank, Hofker, dan Ernest Desentje.
Pada tahun 1938, muncul sebuah perkumpulan seniman lukis yang mendasari gerakannya dengan
jiwa nasionalisme yang tinggi. perkumpulan seniman lukis tersebut disebut PERSAGI. Para
anggota yang tergabung didalamnya saling mendidik satu sama lain tanpa bekal metode yang
benar. Kelompok ini memang tidak mementingkan teknik, namun lebih mementingkan isi jiwa.
Anggota PERSAGI antara lain adalah Agus Jaya ( Ketua ), S. Sujoyono ( juru bicara ),
L. Sutiyoso, Rameli, Latief, Hebert Hutagalung, Abdul Salam, Otto Jaya, Emiria Sunasa dan
Surono.
Tujuan PERSAGI tersebut adalah mengembangkan seni lukis dikalangan masyarakat Indonesia
dangan mencari corak Indonesia baru. Salah satu tokohnya, Sujoyono melarang para
generasi muda untuk menjadi seniman penjiplak. Ia terkenal dengan ungkapannya bahwa
seni adalah jiwa ketok.
Masa setelah PERSAGI adalah masa pendudukan Jepang yang berlangsung antara tahun 1942 - 1945
Jepang mendirikan Poetra ( Poesat Tenaga Rakjat ) dimana kesenian diberi kesempatan luas
untuk tumbuh. Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggalnya yang kemudian
dilanjutkan dengan adanya pameran gabungan karya - karya Affandi dan Basuki Abdullah serta
pelukis - pelukis lainnya. Setelah peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dicatat sebagai
masa pendirian sanggar - sanggar. Pertumbuhan seni rupa bverjalan terus hingga tahun 1950
dimana lahir lembaga - lembaga pendidikan kesenian formal seperti Akademi Seni Rupa ( ASRI )
Yogyakarta dan Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar yang kemudian menjadi bagian Seni Rupa
ITB yaitu sebuah lembaga yang khusus mendidik calon seniman dan guru gambar.
Sekitar tahun 1975, muncullah karya - karya seni rupa baru yang tidak lagi dapat disebut
sebagai seni lukis dalam arti umum. Pada pameran tahun 1975 tersebut, kehadiran seni rupa
baru itu disambut dengan tanggapan kurang positif, bahkan cemoohan oleh para seniman,
masyarakat, juga kaum kritisi seni rupa. akan tetapi, sebagai sesuatu yang baru sebenarnya
hal tersebut merupakan kewajaran. Pameran seni rupa baru tahun 1975 merupakan sikap
pemberontakan terhadap kemapanan seni dan seniman yang ada.
Karya - karya seni rupa yang baru itu cenderung bersigat eksperimental atau memberi
pengalaman yang baru dari apa yang telah ada. Konsep berkarya juga tidak hanya mencari sisi
lain yang berbeda, tetapi bermaksud pula memenuhi tuntutan zaman dan situasi yang berkembang.
Di dalam grup seni rupa baru ini tercatat nama - nama seperti Harsono, Nanik Mirna, Siti
Adiyati Subangun, Ris Purwono, S. Prinka, Bonyong Munni Ardhi, dan Jim Supangkat.
Munculnya gerakan seni rupa barus tersebut memberi keleluasaan kepada seniman muda untuk
berekspresi. Gerakan tersebut memunculkan seniman muda yang potensial dibeberapa kota
di Indonesia seperti Agus Kamal dan Ivan Sagito

0 komentar: